Rabu, 19 Maret 2008

film ayat ayat cinta


film yang satu ini sukses bikin saya sebel, bahkan sebelum diputar. berawal dari ajakan temen saya untuk nonton, kira-kira sebulan sebelum rilisnya. katanya: "ayo donk nonton, novelnya bagus. tapi aq kuatir bakal nangis ntar". hah? plis deh.... film indonesia? bikin nangis? sebagai orang kuper berpengetahuan sempit yang nggak pernah baca novel Ayat-ayat Cinta, saya langsung kebayang film "Heart" yang katanya banyak bikin orang nangis. Duh, saya nggak akan membahas film nggak penting itu di sini.

singkat cerita, karena temen saya bersikukuh bahwa novelnya bagus, saya akirnya penasaran dan ikutan baca. dan ternyata, nggak heran lah kalo jadi bestseller. cukup berbeda dan inspiratif. buat saya yang seorang katak dalam tempurung, novelnya worth reading. jadinya, saya ikut penasaran ama filmnya. gimana ya caranya memfilmkan cerita yang cukup "kaya" seperti itu. dan apakah bisa "feel" atau pesen2 yang ada di novelnya itu, bisa ketangkep dari filmnya juga? yang nyebelin, sempat mau di-premiere-in di akhir desember, ditunda jadi awal januari, eh tapi gak jadi. mau diputer deket val's day, gak jadi juga. takut ikutan di-haram-in MUI juga kali. hah, akhirnya sempet bosen nungguin film ini. dalam hati sih, udah ada perasaan: this movie better be good! (berhubung alasan pengunduran premiere nya adalah masalah editing, or so i told).

akhirnya di saat yang least expected, saya bisa juga nonton ni film. tempat dan kejadiannya adalah di Cinema 21 Malang Town Square (Matos) Studio 4 jam 22.30 . Berhubung saya disesatkan oleh informasi palsu bahwa midnight show di Matos baru mulai bener2 waktu midnight, akhirnya saya tertinggal sekitar 3 menit pertama movie nya, nggak masalah. yang cukup masalah adalah saya kebagian front row seat. very very front row. terakhir kali saya nonton di Matos sepertinya row yang saya tempatin belum ada. huh.

cukup ttg petualangan nontonnya. mari bicara ttg filmya.
saya pikir saya nggak punya ekspektasi berlebihan ttg film ini. biasa melihat film2 Harry Potter setelah membaca bukunya, saya sudah bersiap dengan cerita yang melompat atau ketidaksesuaian imajinasi saya dengan filmnya. saya juga udah bersiap dengan peringatan orang-orang yang katanya "ada detail2 yang dihilangkan, dan ceritanya ada yang agak beda". toh ternyata saya cukup terkejut ketika melihat filmnya. mungkin karena saya terlalu terpaku pada novelnya, yang jelas saya dikecewakan sama film ini. wueeee kaya yang film ini jelek aja. nggak kok. cuma saya lebih suka novelnya aja. temen2 yang nggak pernah baca novelnya bilang filmnya bagus (untuk ukuran film indonesia). ya iyalah... ceritanya aja laen dari cerita indonesia kebanyakan. tapi... buat saya lebih baik kalo bunyi peringatannya seperti ini: "filmnya beda ama novelnya. ambil nama2 tokohnya, ambil keterangan tempatnya, lalu biarkan filmnya bercerita sendiri. kalau ada kesamaan cerita dan dialog, anggap aja kebetulan"

okelah. salah saya adalah menutup mata dari kenyataan bahwa sutradara juga seniman. dia pasti punya idealisme sendiri, tentang bagaimana cara untuk menyampaikan pesan-pesan yang ada di cerita ke penonton filmnya. dan ternyata cara yang mas hanung* pilih berhasil membuat saya sebel lebih cepat pada tokoh Fahri daripada caranya mas habib*. Fahri di film ini tampak sebagai tokoh yang lebih "nyata", dengan cacat2 seperti manusia indonesia pada umumnya (buat manusia indonesia, maaf banget ya. tapi ngaca donk!). Fahri di novel tampil lebih "suci", sesuatu yang menurut saya bukan khayalan atau nggak realistis, melihat ilmu apa saja yang telah dia terima dalam kehidupannya.

mungkin mas hanung ingin para penonton film ini, bisa merasa bahwa film ini nggak terlalu jauh dari kehidupan mereka, bisa menganalogikan diri mereka dengan tokoh-tokohnya, dan ikut serta dalam "perjalanan" tokoh-tokoh dalam filmnya. ya, kesimpulan saya seperti itu sih. karena di film ini, saya lihat Fahri lebih banyak belajar, sedikit demi sedikit memperbaiki diri. sementara Fahri di novel lebih mengajak saya belajar dari apa yang diketahuinya. peristiwa2 yag dialami Fahri di novel lebih ke arah menguji dan mengingatkan akan apa yang dia ketahui, tapi mungkin belum dia pahami. sayangnya kesimpulan bijak seperti ini baru saya dapat dua atau tiga hari setelah nonton. hahaha. jadi waktu saya nonton di studio itu, saya merasa sebel banget sama tokoh Fahri itu (karena saya bandingin sama tokoh Fahri yang saya kenal di novel).

terlepas dari gaya bercerita yang berbeda dari kedua seniman itu, film itu juga mengecewakan saya di beberapa hal: (maaf ya, memang lebih mudah mengkritik daripada berkarya produktif)
1. cowok apaan tuh si Fahri?! beneran deh, ini bukan karena si Fahri lebih di-"manusia"-kan, tapi ada detail yang di filmnya salah divisualisasikan. masalah timing. kecil sih, tapi buatku sangat gak masuk akal. ada adegan di mana Noura dipukulin oleh Bahadur di tengah malam dan dia ditinggalkan sendirian di dinginnya malam (wussss).
di novelnya, kronologis ceritanya begini: Noura dipukulin dan dimaki Bahadur. makian Bahadur dan tangisan Noura membangunkan warga sekitar. Fahri dan Maria tahu apa yang terjadi. Noura ditinggalkan di luar rumah oleh Bahadur. Noura menangis. Fahri mengirim sms, meminta Maria untuk menolong Noura dan mengajaknya masuk. Fahri minta tolong pada Maria karena Noura bukan muhrimnya, dia nggak boleh menyentuh atau menenangkan hati Noura.
di film, kejadiannya jadi begini: Noura dipukulin dan dimaki Bahadur. makian Bahadur dan tangisan Noura membangunkan warga sekitar. Fahri dan Maria tahu apa yang terjadi. Bahadur masih mukulin Noura, Fahri menelepon, meminta Maria untuk menolong Noura. Fahri nggak tahan mendengar wanita menangis.
kalimat terkahir tadi memang menyentuh di novelnya, tapi malah bikin saya muak waktu di filmnya. plis deh, waktu Fahri bilang gitu, Bahadur tuh loh masih di depan matanya mukulin Noura (adegan visual di film). kalau mau nolong ngapain minta Maria sih? takut dipukulin Bahadur yaaaa? aduh... nggak tahan denger wanita menangis? loe takut nangis dipukul Bahadur kaleeeee...... (sebel sebel bete bete)


2. settingnya banyak yang kumuh. memang tempat tinggal mahasiswa, di mana-mana sederhana. jarang banget mahasiswa yang bisa hidup di lingkungan nyaman dan bersih. tapi beberapa tempat yang digambarkan di novelnya cukup bagus, nggak tampak bagus di filmnya. oke, saya memang belum pernah lihat Mesir atau Al-Azhar. tapi masa iya Al-Azhar cuma keliatan sebagai satu tangga aja. bahkan rumah sakit pun keliatan.... aduh... apa suasana sedih harus dibangun dengan setting yang kondisinya juga memelas ya?

3. ta'aruf dan khitbah tidak sesederhana itu. di film ini menunjukkan seakan-akan Fahri dan Aisha hanya bertemu dua-tiga kali, lalu saat ta'aruf Fahri melihat wajah Aisha. lalu mereka menikah. jadi muncul-lah adegan di mana Aisha berkata "Aku tida tahu siapa suamiku, siapa Fahri?!?". terus terang saya nggak suka kesan yang timbul. seakan-akan karena islam tidak mengenal pacaran, lalu kita akan menikah dengan orang yang tidak kita kenal. untung kalau kita mendapat yang baik, misalnya Fahri benar-benar seorang pemerkosa gimana coba? di novelnya diceritakan, bagaimana Aisha telah mencari tahu asal usul juga kepribadian Fahri dari orang-orang terdekatnya. dan juga pada saat mereka ada dalam majlis ta'aruf, mereka menceritakan tentang diri mereka masing-masing. pihak yang mengenalkan mereka berdua juga bukan orang biasa, tapi ulama. ulama yang mengerti bahwa Fahri benar-benar bagus agamanya dan sepadan untuk Aisha. takutnya masyarakat yang lihat nanti berkomentar: "tuh, makanya jangan asal nikah aja, butuh waktu buat saling mengenal" .... akhirnya ngajak pacaran lagi deh.

tapi secara obyektif... film ini memberi sesuatu yang baru di antara film so called drama-romantis dari indonesia. cukup menyentuh dan mungkin kalau saya nggak pernah lihat novelnya, akan saya kasih rekomendasi super plusss untuk film ini. castingnya menurut saya udah pas banget. seperti novelnya, film ini sepertinya banyak menimbulkan perbincangan. mudah2an bukan cuma perbandingan dengan novelnya, dan orang yang menontonnya cukup kritis untuk menemukan hikmah dan kebenaran dari film ini.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

panggilannya bukan mas habib, kalee...

"kang abik"


komen iseng gk jelas ;p